“PAK ABDUR RAHMAN”
Hujan deras di tengah kota metropolitan yang dipenuhi dengan hilir mudik mobil-mobil dan motor-motor yang melaju cepat, tak jarang orang pejalan kaki marah karena terciprat air kotor jalan yang disebabkan oleh lindasan mobil-motor yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Mahfudz gemetaran karena dinginnya air hujan yang membasahinya, dia berteduh di bawah atap haltekota dengan bibir yang tak mau berhenti bergetar. Di tangannya terdapat surat permintaan zakat fitrah dari takmir masjid di tempat ia tinggal. Tertulis jelas di dalam surat itu bahwa surat itu tertuju pada P. Rahmatullah namun ia tak tahu apa-apa tentang siapa sebenarnya orang itu, yang ia tahu dari orang-orang sekitarnya bahwa dia itu tinggal tak jauh dari halte tempat ia berteduh itu.
Mahfudz gemetaran karena dinginnya air hujan yang membasahinya, dia berteduh di bawah atap halte
Ia mengunyah sebungkus roti yang ia beli dari pedagang asongan, sambil menunggu hujan reda, ia mencoba menghangatkan badannya dengan menggosok-gosok lengan bahunya yang basah kuyup, “wah…..deras banget hujannya, kalau begini terus, nanti suratnya bisa rusak nih…..biarlah aku tunggu saja hujan reda”, gumamnya dengan nada kedinginan.
Hujanpun reda, namun hari sudah sore, waktu manghrib hamper tiba, namun dia masih bersemangat untuk mencari pak Abdur Rahman, dan bertekad untuk tidak kembali ke tempat tinggalnya sebelum surat itu sampai pada tujuannya. Ia berkeliling sekitar kota itu untuk mencari tahu dimana sebenarnya rumah pak Abdur Rahman. Karena ia mendengar dari tuan takmir bahwa pak Abdu panggilannya itu jika bersedekah tidak pernah sedikit.
Dia bertanya kesana-kemari pada orang sekitar dan ternyata yang ditunjuk oleh orang-orang tak berbeda dari sebelumnya yaitu tempat perumahan orang-orang China non Islam, “mana mungkin pak Abdu tinggal di tempat mereka gak mungkin?” namun karena Mahfudz memiliki rasa ingin tahu yang tinggi iapun menuju salah satu rumah yang bertanda salib di depan pintunya. “waduh, gimana ya nanti aku kena marah nih, tapi gak apa-apa yang penting aku bisa mengantarkan surat ini pada tujuannya”. Dengan hati deg-degan ia melangkah menuju depan pintu itu dan mengucapkan salam, namun tidak satupun ada yang menjawab salamnya, namun dia mengulangi salamnya beberapa kali, dan sia-sia saja. Diapun memutuskan untuk pergi dan bertanya pada rumah yang lain.
Dua langkah saja ia bergerak tiba-tiba pintu itupun terbuka dan menyambut mahfudz dengan wajah tersenyum. “kenapa orang ini berbeda dengan apa yang aku sangka” kata Mahfudz dalam hati, “silahkan masuk dik….” Mahfudzpun bergegas masuk ke dalam rumah yang megah itu dan terkejut melihat kemegahan rumah itu, dari luarnya saja sudah bagus dan dalamnya pun semakin menunjukkan kemegahannya. “duduk dulu dik, saya mau ambilkan minum dulu” katanya dengan nada ramah penuh penghormatan.
Diapun duduk dengan santai tanpa ada rasa khawatir akan dimarahi.
Tak beberapa lama penghuni rumah itu sudah kembali dengan membawa secangkir kopi dan makanan enak, “wah……rezeki Allah memang tidak kemana”. Mahfudz bahagia karena memang dia sudah sangat lapar.
Dia menyeruput kopi itu dan makan makanan yang telah disuguhkan oleh penghuni rumah itu setelah dipersilahkan, dia tidak pernah makan kue seenak itu sebelumnya.
Setelah makan kue, isteri penghuni rumah itupun mengajak Mahfudz untuk makan, dan hati Mahfudzpun semakin berbinar mendengar itu. Dan penghuni rumah itupun mengantarkannya ke ruang makan dan duduk untuk makan malam bersamanya. Tapi Mahfudz dalam hatinya timbul kegelisahan apakah makanan ini halal apa dari barang dan makanan yang haram.
Namun dengan hati terkejut penghuni rumah itu seakan bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku, “tenang dik, makanan itu bukan daging babi tapi daging sapi, makan saja itu halal menurut agamamu”. Semua kekhawatiranku terjawab tanpa bertanya sebelumnya pada penghuni rumah itu dan tanpa piker panjang Mahfudz yang sudah lapar itupun makan dengan lahapnya.
Setelah makan dan meneguk minuman, “alhamdulillah….” Dengan nada lega ia mengucapkan syukur pada Allah. “dik…..orang muslim kan selalu mengucapkan kata-kata itu setelah mendapat rezeki atau kenikmatan, sebenarnya apa makna dari kalimat itu,” Tanya orang China ini penuh rasa ingin tahu. Tanpa piker panjang Mahfudz menjawab pertanyaan itu dengan serentak “sebenarnya ini adalah ungkapan syukur kita pada Allah tuhan semesta alam yang telah memberikan kami rahmat, rezeki, kesehatan, kenikmatan, dan segala yang Dia karuniakan pada kami ini hambanya, dan makna dari kalimat ini adalah “segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta”. Tiba-tiba dengan wajah tertunduk orang China ini seakan memikirkan sesuatu yang sangatlah rumit, kemudian berkata “Wah…..berarti sangatlah beruntung orang yang memluk agama Islam, mereka selalu berterima kasih pada Tuhannya, meskipun keadaan mereka terkadang berada pada kesulitan, sedangkan kami sekeluarga tidak pernah mengenal rasa syukur, jangankan pada Tuhan kami, pada orang yang pernah menolong kamipun, kami tidak pernah berterima kasih. Kami hanya terlena dalam kemagahan. Terima kasih dik sudah mengikatkan saya.” Mahfudz tertegun mendengarkan perkataan yang diutarakan oleh orang China ini. Kemudian Orang China ini menanyakan nama dan apa tujuan Mahfudz datang padanya. Dan Mahfudzpun menjawab bahwa ia adalah utusan Takmir masjid At Taubah, datang untuk menyampaikan pesannya. Dan tanpa pikir panjang Orang itupun masuk ke dalam Ruang tengah dan membawa uang yang banyak dan dihadiahkan pada anak itu untuk diberikan pada Takmir masjid.
Mahfudz yang masih penasaran bertanya lagi pada orang penghuni rumah itu, “bapak kan non Islam, kok bisa nama bapak Abdur Rahman, padahal nama itu identik dengan nama orang Muslim, dan artinya pun dalam bahasa Indonesia adalah “Hamba Allah”. Dan bapak itupun terkejut dan bertanya lagi “benar apa yang kamu katakan itu?, saya tidak tahu dengan hal ini, cuman yang saya tahu adalah orang memanggil saya seperti itu, dan nama ini adalah pemberian orang tua perempuan saya, Dia adalah Muslimah Tiong Hoa, waktu saya masih kecil sekali ayah dan ibu saya meninggal karena kecelakaan dan akibatnya saya harus tinggal bersama paman saya di Hongkong, dan tak sedikitpun mendapat sentuhan yang namanya agama Islam sehingga ya beginilah……..”. dia mengucapkan hal itu terlihat seperti orang yang sangat menyesali semuanya, seperti orang kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Aku semakin terdiam menyimak cerita orang Tiongkok ini, dia seakan menyanjung Islam melebihi agamanya sendiri, tak Mahfudz dengar ia menceritakan agamanya sama sekali dari awal Mahfudz masuk rumah itu, bahkan Orang itu mau bersedekah ke Masjid, melebihi shadaqah orang muslim.
Dalam hati Mahfudz bergumam, “andaikan dia orang Islam, pasti shadaqahnya akan lebih banyak dari ini, ya pasti…pasti”.
Setelah agak lama berbincang-bincang dengan pak Abdu dan karena malam sudah agak larut , Mahfudzpun pamit pulang dan berterima kasih pada pak Abdu.
Langkah Mahfudz tak dapat dikendalikan cepatnya, bahkan dia sedikit seperti orang yang berlari-lari kecil, tak sabar untuk menceritakan pengalaman yang sangat mengagumkan sepanjang hidupnya, suatu kejadian yang membuat iman dan kepercayaannya pada Islam meningkat.
0 komentar:
Posting Komentar