Ikan ikan kecil
yang bersembunyi di balik bebatuan satu persatu mati akibat racun yang ditebar
Rasikin, anak kampong sebelah ini acap kali memakai cara itu untuk menangkap
ikan, sungaipun menjadi bau, akibat bangkai ikan-ikan kecil yang mengambang
mati, hanyut terbawa air jernih sungai.
Sungai Barat penduduk
desa Klingking menyebutnya, tampak indah bila dipandang dari tebing di hutan
desa itu. Diwarnai indahnya pohon kesambi yang kecut-kecut manis bila kita
emut. Batu batu besar di pinggiran sungai yang banyak diukir anak-anak yang tak
punya kerjaan berlubang,bagikan ukiran seniman patung museum.
“kenapa sekarang
yang banyak hanya ikan-ikan kecil mungil ini, dulu kan besar-besar, seperti lengan kurusku
ini”, kata Ilham sambil mengangkat tangannya.
Pancing di
tangannya tak satupun yang menyambar, malahan kain-kain robek yang kerap kali
tersangkut di mata pancingnya itu.
“dari tadi, yang
aku dapat cuman kain rombeng, makanya aku kesal. Untung aku bawa racun bekas
ayahku menyemprot padi kemarin,….mati kau ikan” kata Rasikin geram memegang
ikan gabus yang paling besar di antara ikan-ikan lain.
Cuaca panas
kemarau tak membuatnya gerah, jika kepanasan iapun menceburkan diri ke dalam
air setinggi paha orang dewasa. Terasa segar walau bercampur bangkai ikan.
Sedangkan Sono teman SMP Rasikin sibuk menghidupkan api unggun, dengan kayu kyu
kering yang ia patahkan dari pohon-pohon dekat sungai. Sambil mengocok-ngocok
korek api yang sedikitpun tak mau mengeluarkan kobaran api. Dia mulai jengkel
dan membanting korek itu sampai hancur berkeping-keping, sembari terdengar
bunyi letusan kecil yang berasal dari korek rongsokan itu.
“gimana? Hidup
gak apinya, enak nih kalau dibakar”, rasikin menyapanya sambil mengangkat ikan
gabus besar di tangannya, sambil memutar lidah di antara dua bibirnya.
Sono yang
mengernyitkan dahinya tak menjawab sapaan Rasikin, ia bermuka masam sesaat dan
berkata tidak.
“makanya
hidupkan api itu harus sabar, bukan marah-marah gitu”. Rasikin sedikit
mensehatinya dengan nada agak menyindir.
Mereka memutuskan
untuk pulang ke rumah mereka dan menjinjing banyak ikan di tangan mereka,
dengan jalan sedikit girang mereka meloncat-loncat bergandengan tangan sambil
berhitung satu, dua, dan tiga berkali-kali sampai melewati hutan belantara yang
mereka tak pernah lalui sebelumnya, tapi karena hari sudah agak sore, hutan itu
seakan tampak sedikit menakutkan. Jalanan hutan itu sempit semakin ke dalam
hutan makin sempit saja, sehingga mereka yang awalnya berjalan berjejer ke
samping berubah menjdi beriringan memanjang. Dengan hati dag-dig-dug tak karuan
mereka dengan hati-hati melewati pohon demi pohon dalam hutan. Tubuh mereka
mulai gemetaran dihantui perasaan yang mengganjal dan penuh tanda Tanya.
Langkah mereka bertambah cepat saja. Seakan dari belakang mereka ada yang
mengikuti, dan seakan hutan itu lebih panjang dari hutan yang mereka lalui
siang tadi.
Mereka mencoba
tuk kembali tenang dan mencoba berjalan agak pelan, tapi, rasa takut mereka
makin bertambah, setelah mendengar deruman aneh dari samping kiri mereka. Suara
itu semakin lama makin keras memekakkan telinga mereka. Mereka berteriak
keras-keras, namun hutan itu seakan menjadi hutan mati. Tak ada suara apapun
selain suara jangkrik yang berderik di setiap sisi jalanan hutan.
“kenapa tidak
lewat bawah sungai saja sih” Rasikin menegur.
“mana aku tahu,
hutan ini kan sudah sering dilalui ayah-ayah
kita jika bekerja mencari kayu bakar, awalnya kan gak ada apa-apa?”. Saut Ilham yang sudah
ngos-ngosan.
Mereka merasa
bahwa mereka berputar-putar di hutan itu, tidak ada jalan keluar yang bias
mereka lalui. Usaha mereka sia-sia saja. Mereka beusaha untuk berlari lebih
cepat lagi, namun Rasikin sudah sampai batasnya. Kakinya penuh darah. Dia
merintih kesakitan tersandung bekas kayu jati yang tajam.
“Lho… kenapa
kita balik ke pohon ini lagi, kita mutar-mutar terus, kapan nyampeknya?”.
Sono merobek
kain bajunya dengan pisau yang mereka bawa untuk menyobek daging ikan, dengan
kain yang sudah dicampur getah pohon pisang yang konon bias mengeringkan luka
lebih cepat, ia membalut luka di kaki Rasikin, Orang keras kepala ini ternyata
memiliki rasa simpati yang tinggi pada temannya Rasikin.
Bau bangkai
busuk membuat mereka semakin merasa seram melintasi jalanan hutan belantara
itu.
Mereka
memberanikan diri menerobos masuk semak penuh duri yang menghadang mereka di
jalan buntu. Rasa sakit tertusuk duri-duri kecil mereka tahan. Namun, bukan
jalan keluar yang mereka temukan, tapi, sesosok mayat bergelantung dengan lidah
menjulur, matanya terbelalak. Mayat berpakaian kebaya hijau ini, masih sangat
muda. Ilham menggosok-gosok mata penuh rasa tak percaya melihat manusia tak
bernyawa ini. rasa takut yang tadi kami rasa, berubah menjadi perasaan kasihan
pada mayat ini. Kebingungan membuat mereka berjalan mondar-mandir sendiri
sambil memikirkan cara membawa mayat itu ke tempat yang lebih ramai.
Mereka melihat sekeliling mereka, barangkali ada yang
bias menolong mereka, tapi sia-sia.
Pikiran mereka
buntu memikirkan jalan keluarnya.
Ketika pikiran
mereka sudah putus asa, derum suara motor dua tak yang melaju dari arah belakang
mereka membuat mereka bangkit dengan gesit, tak mau ketinggalan kesempatan
besar. Sono dan Ilham menyetop pengendara motor ini, pria berhelem biru itu
mengerem motornya mendadak, melihat dua anak menghadang jalan. Perlahan dia
turun dan membuka helemnya. Sambil marah-marah karena sedikit saja remnya tak
diinjak, mereka sudah tergeletak tertabrak bahkan bias saja mereka mati
seketika.
“kalian mau mati
lebih cepat ya?!”. Dia melotot sambil menunjuk-nunjuk telunjuknya ke arah wajah
mereka berdua.
Orang ini tak asing
di mata Sono dan Ilham, Mereka sangat mengenali wajahnya, orang ini yang sering
mereka lihat di rumah Rasikin bahkan Rasikin begitu akrabnya jika berbicara
dengannya.
“paman kan orang yang sering
kami lihat di rumah si Rasikin”.
“Aku ini pamannya,
memangnya kenapa?”. Wajahnya masih marah-marah.
Dengan tak sabar
sambil menarik nafas dalam-dalam, suara mereka tersendak karena panic.
“paman kenapa
bias lewat sini?”.
“lho, memangnya
gak boleh?, saya ini baru datang dari rumah teman kerja saya yang kebetulan
berada di seberang hutan ini, kalian sendiri kan temannya Rasikin, paman sering melihat
kalian bersama Rasikin jika ke rumah”. Ucapnya seakan dia sudah bias mengenali
mereka tanpa mereka beritahu.
Paman Hari
namanya.
Tanpa piker
panjang mereka menarik tangan paman itu dan membawanya ke balik semak belukar,
orang itu seakan menahan tarikan mereka kuat-kuat, tapi tangan Ilham dan Sono
tak mau kalah, sampai akhirnya merekapun bias menarik tangan orang itu.
Orang itu
berdiri mematung melihat keponakannya Rasikin berdiri di samping mayat
tergelantung, paman itu gemetaran melihat darah yang mengalir deras dari mulut
mayat itu. Tak disangka paman Rasikin memang orang yang trauma melihat darah
setelah istri kesayangannya dibunuh seseorang dua tahun lalu.
*
Mereka semua
menggotong mayat itu ke pinggir jalan berbatu dan membaringkannya di atas debu
musim kemarau yang halus.
“ini sudah
hamper malam paman, bagaimana ini?”.
“kalian mengenal
orang ini?”, Tanya paman Rasikin menginterogasi mereka bertiga.
“lah…..tahu
wajah saja tidak, apalagi kenal,” jawab mereka serentak.
“lalu kanapa
kalian bisa berada di sini?”.
“Kami hanya
kbetulan lewat saja, tak tahunya ada mayat”.
Paman Hari
memencet tombol-tombol hanphonenya untuk menelpon orang rumahnya. Wajahnya
merah padam bukan karena marah, tapi panik.
“suaranya
putus-putus, sinyalnya jelek”.
“maklumlah
paman, disini kan
pedesaan, apalagi ini hutan”. Jawab Rasikin penuh kecewa.
Ikan yang mereka
tangkap susah payah, tak mereka hiraukan, ikan itu hampir membusuk dimakan
semut-semut kecil.
Tiba-tiba mobil
truk pengangkut batu di sungai menderum keras mendaki tanjakan hutan dari arah
berlawanan dengan mereka, mereka berlari ke depan melambaikan tangan ke arah
truk kuning yang penuh muatan batu-batu besar. Si kenek truk itu memukul-mukul
badan truk pertanda menyuruh sopir untuk berhenti. Truk itu berhenti dan
berjalan mundur.
“ada apa?”.
Tanya kenek bertopi hitam legam itu.
“boleh beri kami
tumpangan”. Pinta paman memohon.
“kami buru-buru
sudah malam, sebentar lagi sholat maghrib tiba.
“kami menemukan
mayat tak dikenal, bisa kami minta tumpangan membawanya ke desa sebelah?”.
Tanpa piker
panjang kenek itu menyuruh kami mengangkat mayat itu ke atas truk, kami
bersegera naik ke atas truk, Rasikin kini duduk tenang bersandar di bak truk,
tubuhnya basah oleh keringat dingin, begitu pula Sono dan Ilham yang tak pernah
mengalami kajadian seperti ini, dia tak biasa melihat mayat seperti itu
sebelumnya.
Jika
diperhatikan sepintas, mayat itu bukan dari kalangan orang miskin, dia memakai
kebaya begitu bagus dan rapi. Dia masih sangat muda dan masih cantik.
Truk melaju
pelan karena jalanan berbatu, supir itu dengan sabar mengemudikan truk
perlahan.
Begitu senangnya
Mereka melihat gerombolan orang-orang bersarung bersiap-siap menuju masjid
untuk sholat berjama’ah, ya….kami sudah melewati hutan dan sampai di desa
Hiliran. Desa yang terletak di sebelah timur desaku.
Namun, sebagian
orang ada yang ramai-ramai di depan rumah yang paling bagus di desa itu, laju
truk pun tersendak di jalan depan rumah itu. Supir truk berkali-kali
membunyikan klakson karena kesal. Dia menjulurkan kepalanya sambil berteriak
keras pada orang-orang itu. Mereka tak menghiraukan teriakannya.
Kenek truk pun
turun dari atas truk dan meminta mereka menyingkir.
“maaf
bapak-bapak ibu-ibu, kami mau lewat” katanya sabar.
“Oh…maaf pak,
kami sedang kebingungan mempertanyakan anak ibu pemilik rumah ini, sudah tiga
hari dia menghilang dari rumah” jawab salah satu penduduk pada kenek itu.
Mereka berbicara
serius sekali membuat Rasikin, Ilham, Pamannya dan Sono menunggu cukup lama.
Sampai akhirnya
paman kenek itu kembali menemui kami dengan wajah berat memerah penuh dengan
keringat, wajahnya mengkilap sebab memantul dari wajahnya yang berkeringat
sinar lampu depan rumah bagus itu.
“celaka kita”.
Katanya menyesal.
“kenapa paman?”
Tanya Sono melongoh.
“ada orang yang
hilang sudah tiga hari, cirri-cirinya sama persis dengan mayat yang kita bawa
ini”.
“lho.. kalau
begitu langsung kita katakan saja pada mereka, kan
itu lebih baik dari pada kita bawa ke rumah, kan repot”. Kata paman Rasikin mantap.
Paman kenek
berdiam sebentar memikirkan sesuatu, baru setelah beberapa menit ia turun lagi
dan mengatakan yang sebenarnya bahwa mereka telah menemukan mayat gantung diri di
hutan dan sekarang berada di atas truk mereka.
Orang-orang yang
tadinya masih sibuk berbincang-bincang bergegas melihat mayat itu, dan
ternyata, memang betul itu adalah mayat orang yang mereka cari-cari. Si Milah
mereka menyebutnya, yang menghilang setelah menghadiri acara resepsi pernikahan
mantan kakasihnya. Maka dari itu mayat itu memakai kebaya yang masih rapi.
Sebagian orang
berterima kasih pada mereka, dan sebagian mereka juga marah-marah karena tak
segera memberitahu mereka apa yang mereka bawa.
Cukup lama
Rasikin dan kawan-kawannya itu berada di rumah sang ibu dari mayat yang mereka
temukan.
“Terima kasih
sudah menemukan Milah, meski sudah saat keadaannya seperti ini”. Kata ibu tua
itu tersenyum melawan sedih.
“sebenarnya dia
bersama temannya waktu ke undangan itu, tapi katanya ia pulang lebih dulu dan
temannya ini tidak bisa menyusulnya lebih cepat sehingga iapun menghilang” Ibu
tua ini bercerita pada kami. Kami semua merasa lega karena bisa menolong orang
lain dan mayat itu berhasil kami bawa kepada keluarganya tanpa diduga-duga kami
menemukannya dan tanpa diduga pula mayat itu berhasil kami tolong.
“sudah ayo kita
pulang, sudah jam delapan malam, angkutan batu saya sudah molor dari tadi sore”
kata kenek itu memutus perbincangan kami.
0 komentar:
Posting Komentar