Senin, 15 April 2013

CERPEN KEBAYA


Ikan ikan kecil yang bersembunyi di balik bebatuan satu persatu mati akibat racun yang ditebar Rasikin, anak kampong sebelah ini acap kali memakai cara itu untuk menangkap ikan, sungaipun menjadi bau, akibat bangkai ikan-ikan kecil yang mengambang mati, hanyut terbawa air jernih sungai.

Sungai Barat penduduk desa Klingking menyebutnya, tampak indah bila dipandang dari tebing di hutan desa itu. Diwarnai indahnya pohon kesambi yang kecut-kecut manis bila kita emut. Batu batu besar di pinggiran sungai yang banyak diukir anak-anak yang tak punya kerjaan berlubang,bagikan ukiran seniman patung museum.
“kenapa sekarang yang banyak hanya ikan-ikan kecil mungil ini, dulu kan besar-besar, seperti lengan kurusku ini”, kata Ilham sambil mengangkat tangannya.
Pancing di tangannya tak satupun yang menyambar, malahan kain-kain robek yang kerap kali tersangkut di mata pancingnya itu.
“dari tadi, yang aku dapat cuman kain rombeng, makanya aku kesal. Untung aku bawa racun bekas ayahku menyemprot padi kemarin,….mati kau ikan” kata Rasikin geram memegang ikan gabus yang paling besar di antara ikan-ikan lain.
Cuaca panas kemarau tak membuatnya gerah, jika kepanasan iapun menceburkan diri ke dalam air setinggi paha orang dewasa. Terasa segar walau bercampur bangkai ikan. Sedangkan Sono teman SMP Rasikin sibuk menghidupkan api unggun, dengan kayu kyu kering yang ia patahkan dari pohon-pohon dekat sungai. Sambil mengocok-ngocok korek api yang sedikitpun tak mau mengeluarkan kobaran api. Dia mulai jengkel dan membanting korek itu sampai hancur berkeping-keping, sembari terdengar bunyi letusan kecil yang berasal dari korek rongsokan itu.
“gimana? Hidup gak apinya, enak nih kalau dibakar”, rasikin menyapanya sambil mengangkat ikan gabus besar di tangannya, sambil memutar lidah di antara dua bibirnya.
Sono yang mengernyitkan dahinya tak menjawab sapaan Rasikin, ia bermuka masam sesaat dan berkata tidak.
“makanya hidupkan api itu harus sabar, bukan marah-marah gitu”. Rasikin sedikit mensehatinya dengan nada agak menyindir.
Mereka memutuskan untuk pulang ke rumah mereka dan menjinjing banyak ikan di tangan mereka, dengan jalan sedikit girang mereka meloncat-loncat bergandengan tangan sambil berhitung satu, dua, dan tiga berkali-kali sampai melewati hutan belantara yang mereka tak pernah lalui sebelumnya, tapi karena hari sudah agak sore, hutan itu seakan tampak sedikit menakutkan. Jalanan hutan itu sempit semakin ke dalam hutan makin sempit saja, sehingga mereka yang awalnya berjalan berjejer ke samping berubah menjdi beriringan memanjang. Dengan hati dag-dig-dug tak karuan mereka dengan hati-hati melewati pohon demi pohon dalam hutan. Tubuh mereka mulai gemetaran dihantui perasaan yang mengganjal dan penuh tanda Tanya. Langkah mereka bertambah cepat saja. Seakan dari belakang mereka ada yang mengikuti, dan seakan hutan itu lebih panjang dari hutan yang mereka lalui siang tadi.
Mereka mencoba tuk kembali tenang dan mencoba berjalan agak pelan, tapi, rasa takut mereka makin bertambah, setelah mendengar deruman aneh dari samping kiri mereka. Suara itu semakin lama makin keras memekakkan telinga mereka. Mereka berteriak keras-keras, namun hutan itu seakan menjadi hutan mati. Tak ada suara apapun selain suara jangkrik yang berderik di setiap sisi jalanan hutan.
“kenapa tidak lewat bawah sungai saja sih” Rasikin menegur.
“mana aku tahu, hutan ini kan sudah sering dilalui ayah-ayah kita jika bekerja mencari kayu bakar, awalnya kan gak ada apa-apa?”. Saut Ilham yang sudah ngos-ngosan.
Mereka merasa bahwa mereka berputar-putar di hutan itu, tidak ada jalan keluar yang bias mereka lalui. Usaha mereka sia-sia saja. Mereka beusaha untuk berlari lebih cepat lagi, namun Rasikin sudah sampai batasnya. Kakinya penuh darah. Dia merintih kesakitan tersandung bekas kayu jati yang tajam.
“Lho… kenapa kita balik ke pohon ini lagi, kita mutar-mutar terus, kapan nyampeknya?”.
Sono merobek kain bajunya dengan pisau yang mereka bawa untuk menyobek daging ikan, dengan kain yang sudah dicampur getah pohon pisang yang konon bias mengeringkan luka lebih cepat, ia membalut luka di kaki Rasikin, Orang keras kepala ini ternyata memiliki rasa simpati yang tinggi pada temannya Rasikin.
Bau bangkai busuk membuat mereka semakin merasa seram melintasi jalanan hutan belantara itu.
Mereka memberanikan diri menerobos masuk semak penuh duri yang menghadang mereka di jalan buntu. Rasa sakit tertusuk duri-duri kecil mereka tahan. Namun, bukan jalan keluar yang mereka temukan, tapi, sesosok mayat bergelantung dengan lidah menjulur, matanya terbelalak. Mayat berpakaian kebaya hijau ini, masih sangat muda. Ilham menggosok-gosok mata penuh rasa tak percaya melihat manusia tak bernyawa ini. rasa takut yang tadi kami rasa, berubah menjadi perasaan kasihan pada mayat ini. Kebingungan membuat mereka berjalan mondar-mandir sendiri sambil memikirkan cara membawa mayat itu ke tempat yang lebih ramai.
Mereka  melihat sekeliling mereka, barangkali ada yang bias menolong mereka, tapi sia-sia.
Pikiran mereka buntu memikirkan jalan keluarnya.
Ketika pikiran mereka sudah putus asa, derum suara motor dua tak yang melaju dari arah belakang mereka membuat mereka bangkit dengan gesit, tak mau ketinggalan kesempatan besar. Sono dan Ilham menyetop pengendara motor ini, pria berhelem biru itu mengerem motornya mendadak, melihat dua anak menghadang jalan. Perlahan dia turun dan membuka helemnya. Sambil marah-marah karena sedikit saja remnya tak diinjak, mereka sudah tergeletak tertabrak bahkan bias saja mereka mati seketika.
“kalian mau mati lebih cepat ya?!”. Dia melotot sambil menunjuk-nunjuk telunjuknya ke arah wajah mereka berdua.
Orang ini tak asing di mata Sono dan Ilham, Mereka sangat mengenali wajahnya, orang ini yang sering mereka lihat di rumah Rasikin bahkan Rasikin begitu akrabnya jika berbicara dengannya.
“paman kan orang yang sering kami lihat di rumah si Rasikin”.
“Aku ini pamannya, memangnya kenapa?”. Wajahnya masih marah-marah.
Dengan tak sabar sambil menarik nafas dalam-dalam, suara mereka tersendak karena panic.
“paman kenapa bias lewat sini?”.
“lho, memangnya gak boleh?, saya ini baru datang dari rumah teman kerja saya yang kebetulan berada di seberang hutan ini, kalian sendiri kan temannya Rasikin, paman sering melihat kalian bersama Rasikin jika ke rumah”. Ucapnya seakan dia sudah bias mengenali mereka tanpa mereka beritahu.
Paman Hari namanya.
Tanpa piker panjang mereka menarik tangan paman itu dan membawanya ke balik semak belukar, orang itu seakan menahan tarikan mereka kuat-kuat, tapi tangan Ilham dan Sono tak mau kalah, sampai akhirnya merekapun bias menarik tangan orang itu.
Orang itu berdiri mematung melihat keponakannya Rasikin berdiri di samping mayat tergelantung, paman itu gemetaran melihat darah yang mengalir deras dari mulut mayat itu. Tak disangka paman Rasikin memang orang yang trauma melihat darah setelah istri kesayangannya dibunuh seseorang dua tahun lalu.

*
Mereka semua menggotong mayat itu ke pinggir jalan berbatu dan membaringkannya di atas debu musim kemarau yang halus.
“ini sudah hamper malam paman, bagaimana ini?”.
“kalian mengenal orang ini?”, Tanya paman Rasikin menginterogasi mereka bertiga.
“lah…..tahu wajah saja tidak, apalagi kenal,” jawab mereka serentak.
“lalu kanapa kalian bisa berada di sini?”.
“Kami hanya kbetulan lewat saja, tak tahunya ada mayat”.
Paman Hari memencet tombol-tombol hanphonenya untuk menelpon orang rumahnya. Wajahnya merah padam bukan karena marah, tapi panik.
“suaranya putus-putus, sinyalnya jelek”.
“maklumlah paman, disini kan pedesaan, apalagi ini hutan”. Jawab Rasikin penuh kecewa.
Ikan yang mereka tangkap susah payah, tak mereka hiraukan, ikan itu hampir membusuk dimakan semut-semut kecil.
Tiba-tiba mobil truk pengangkut batu di sungai menderum keras mendaki tanjakan hutan dari arah berlawanan dengan mereka, mereka berlari ke depan melambaikan tangan ke arah truk kuning yang penuh muatan batu-batu besar. Si kenek truk itu memukul-mukul badan truk pertanda menyuruh sopir untuk berhenti. Truk itu berhenti dan berjalan mundur.
“ada apa?”. Tanya kenek bertopi hitam legam itu.
“boleh beri kami tumpangan”. Pinta paman memohon.
“kami buru-buru sudah malam, sebentar lagi sholat maghrib tiba.
“kami menemukan mayat tak dikenal, bisa kami minta tumpangan membawanya ke desa sebelah?”.
Tanpa piker panjang kenek itu menyuruh kami mengangkat mayat itu ke atas truk, kami bersegera naik ke atas truk, Rasikin kini duduk tenang bersandar di bak truk, tubuhnya basah oleh keringat dingin, begitu pula Sono dan Ilham yang tak pernah mengalami kajadian seperti ini, dia tak biasa melihat mayat seperti itu sebelumnya.
Jika diperhatikan sepintas, mayat itu bukan dari kalangan orang miskin, dia memakai kebaya begitu bagus dan rapi. Dia masih sangat muda dan masih cantik.
Truk melaju pelan karena jalanan berbatu, supir itu dengan sabar mengemudikan truk perlahan.
Begitu senangnya Mereka melihat gerombolan orang-orang bersarung bersiap-siap menuju masjid untuk sholat berjama’ah, ya….kami sudah melewati hutan dan sampai di desa Hiliran. Desa yang terletak di sebelah timur desaku.
Namun, sebagian orang ada yang ramai-ramai di depan rumah yang paling bagus di desa itu, laju truk pun tersendak di jalan depan rumah itu. Supir truk berkali-kali membunyikan klakson karena kesal. Dia menjulurkan kepalanya sambil berteriak keras pada orang-orang itu. Mereka tak menghiraukan teriakannya.
Kenek truk pun turun dari atas truk dan meminta mereka menyingkir.
“maaf bapak-bapak ibu-ibu, kami mau lewat” katanya sabar.
“Oh…maaf pak, kami sedang kebingungan mempertanyakan anak ibu pemilik rumah ini, sudah tiga hari dia menghilang dari rumah” jawab salah satu penduduk pada kenek itu.
Mereka berbicara serius sekali membuat Rasikin, Ilham, Pamannya dan Sono menunggu cukup lama.
Sampai akhirnya paman kenek itu kembali menemui kami dengan wajah berat memerah penuh dengan keringat, wajahnya mengkilap sebab memantul dari wajahnya yang berkeringat sinar lampu depan rumah bagus itu.
“celaka kita”. Katanya menyesal.
“kenapa paman?” Tanya Sono melongoh.
“ada orang yang hilang sudah tiga hari, cirri-cirinya sama persis dengan mayat yang kita bawa ini”.
“lho.. kalau begitu langsung kita katakan saja pada mereka, kan itu lebih baik dari pada kita bawa ke rumah, kan repot”. Kata paman Rasikin mantap.
Paman kenek berdiam sebentar memikirkan sesuatu, baru setelah beberapa menit ia turun lagi dan mengatakan yang sebenarnya bahwa mereka telah menemukan mayat gantung diri di hutan dan sekarang berada di atas truk mereka.
Orang-orang yang tadinya masih sibuk berbincang-bincang bergegas melihat mayat itu, dan ternyata, memang betul itu adalah mayat orang yang mereka cari-cari. Si Milah mereka menyebutnya, yang menghilang setelah menghadiri acara resepsi pernikahan mantan kakasihnya. Maka dari itu mayat itu memakai kebaya yang masih rapi.
Sebagian orang berterima kasih pada mereka, dan sebagian mereka juga marah-marah karena tak segera memberitahu mereka apa yang mereka bawa.
Cukup lama Rasikin dan kawan-kawannya itu berada di rumah sang ibu dari mayat yang mereka temukan.
“Terima kasih sudah menemukan Milah, meski sudah saat keadaannya seperti ini”. Kata ibu tua itu tersenyum melawan sedih.
“sebenarnya dia bersama temannya waktu ke undangan itu, tapi katanya ia pulang lebih dulu dan temannya ini tidak bisa menyusulnya lebih cepat sehingga iapun menghilang” Ibu tua ini bercerita pada kami. Kami semua merasa lega karena bisa menolong orang lain dan mayat itu berhasil kami bawa kepada keluarganya tanpa diduga-duga kami menemukannya dan tanpa diduga pula mayat itu berhasil kami tolong.
“sudah ayo kita pulang, sudah jam delapan malam, angkutan batu saya sudah molor dari tadi sore” kata kenek itu memutus perbincangan kami.




0 komentar:

Posting Komentar

 
Komunitas Santri Robithatul Islam Krejengan